“Ga mau Maaa…! Ga mauuu..! Mama enggak ngerti banget sih mau aku tuh apa!?”
Wiwi menekuk mukanya kemudian menghempaskan mukanya ke atas bantal, kesal.
“Mama tahu apa yang terbaik buat kamu, Wi…Mama enggak pengen kamu kayak tante Ratih yang tersiksa gara-gara masuk jurusan yang dia sendiri sebenarnya tidak menguasai!Lagian nilai-nilai kamu masih banyak yang kudu dipoles..” Mama menghela napas panjang, kemudian pergi.
Pintu kamar Wiwi tertutup perlahan diiringi tatapan sewot dari Wiwi.
“Aarrgghhh…enggak ada yang ngerti!!”
Wiwi berteriak kemudian melempar bantal yang ada di atas pangkuannya ke arah pintu yang ternyata terbuka karena ada sosok lain yang masuk,hingga kemudian ‘Bukk!!’ tepat di muka Restu.
“Aduh! Kamu itu apa-apaan sih pake lempar-lempar bantal segala ke muka Mbak?”
Restu mengambil bantal sambil terus mengusap-usap kepalanya yang tidak siap kena sambitan mendadak dari adik tersayangnya.
Kedatangan Restu hanya disambut bibir Wiwi yang maju beberapa senti kemudian membuang muka.
“Aku tuh sebel mbak! Masa Mama enggak ngerti-ngerti mau aku? Cita-citaku? Uugh..!”
Wiwi membeberkan kekesalannya dan terlihat mau menangis.
“Terus?” Restu duduk di sisi tempat tidur Wiwi
“Terus? Apanya yang terus??” ujar Wiwi galak.
“Ya terus, apa hubungannya sama Mbak?hahaha…!”
“Ihhhh…Mbak Restu jeleeeeeeeeekkkk…!!”
Restu berlari keluar kamar dan Wiwi terus mengejarnya, kesal.
ooOoo
Kejar-mengejar itu terjadi selama lima belas menit hingga keduanya kelelahan dan terduduk di atas sofa ruang tengah. Restu meraih remote TV yang berukuran 21 inch.
‘klik’ TV menyala, dipilihnya channel yang menayangkan Anime Naruto sebagai tontonan. Biar tidak stres menurutnya.
“Emang kamu masih bertahan sama pilihan kamu ya Wi?” ujar Restu memulai percakapan sambil meraih toples yang berisi kue kering yang tergeletak di meja kayu depan sofa.
“Iya donk! jadi Dokter kan cita-citaku dari dulu Mbak!”
“Uhmm..gitu ya” Restu bangkit dari duduknya
“Mau kemana Mbak?” Wiwi mengalihkan pandangannya ke arah Restu yang mulai berjalan ke arah dapur.
“Ambil minum.” jawabnya singkat sambil berlalu.
“Sekalian donk, Mbak ku yang cantik..?” ujar Wiwi manja.
“Dasar! Katanya mau jadi Dokter? Kan kudu mau melayani orang lain kapanpun dibutuhkan!” sahut Restu keras dari dapur.
“Melayani? Ogah…!emangnya kita pembantu?” Wiwi mencibir.
ooOoo
‘Hhuuffh…’ Wiwi berjalan gontai menuju ke rumah. Angin bertiup perlahan, menyentuh jilbabnya hingga berkibar-kibar pelan. Jarak dari rumah ke sekolah hanya sekitar dua ratus meter. Itulah yang membuat Wiwi lebih memilih jalan kaki saja dari pada naik angkutan umum. Lumayan buat nambah uang jajan, katanya.
“Assalamu’laikuum…”
Pintu rumah yang terbuat dari jati Wiwi dorong sekuat tenaga karena cukup berat.
Pernah suatu ketika Wiwi protes supaya pintu rumahnya diganti dengan yang biasa saja. Orangtuanya beralasan bahwa pintu yang terbuat dari jati dengan ukiran-ukiran etnik Jawa yang kental sangatlah artistik lagipula kalau ada maling mau masuk nanti malingnya keburu ketahuan sebelum sempat masuk, katanya. ‘Ngapain juga maling kudu masuk lewat pintu, emangnya maling enggak tahu ya kalau kita juga punya jendela?’ ujar Wiwi sebal karena otot-otot tangannya jadi semakin besar gara-gara harus mendorong-dorong pintu jati yang berat . Tapi tetap saja, orangtuanya keukeuh.
“Wa’alaikumsalam…” Bu Retno memandang kedatangannya putri bungsunya sambil melipat-lipat pakaian kering yang baru saja diangkatnya dari jemuran.
“Kenapa sih sayang? Mukanya ditekuk melulu?”
“Tahu ah!”
Wiwi terus saja berjalan masuk ke kamarnya tanpa bersalaman dulu.
‘Anak itu..enggak biasanya..’ gumam bu retno dalam hati, maklum.
Ransel Garsel hadiah pemberian Mama sebagai kado ulang tahunnya dia lempar begitu saja ke atas tempat tidur.
“Uuughh…sebel!sebel!sebeelll…!” Wiwi memukul-mukul bantal sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas kasur.
‘Sampai kapan harus kayak gini ya? Apa aku harus ngalah dengan keputusan Mama..?’ Wiwi merenung dalam hati.
“Enggak lah yaaa….!” Teriak Wiwi semangat kemudian menghempaskan tubuhnya, lelah.
ooOoo
“Gimana ya, Mbak?” Wiwi merogoh Chitato dan mengunyahnya perlahan. sambil terus membulak-balikkan halaman komik Detective Conan yang ia pegang.
“Apanya?” Restu melirik sebentar, kemudian kembali fokus ke arah novel yang sedang dibacanya. Diorama Sepasang Al Banna judul novel itu.
“Ya tentang keputusan Mama yang keukeuh-sumeukeuh sama keputusannya buat jadiin aku Guru SD!” Wiwi menjawab sambil berapi-api.
“Emang sih aku suka anak kecil, tapi kan Mbak….ya ampuun, cita-citaku kan jadi Dokter! Lagian, Guru SD gitu lho..!enggak banget..!” Lanjutnya.
“Uhm..terus?” sahut Restu sambil terus fokus ke arah novelnya.
“Ya temen-temen Wiwi tuh pilihan jurusannya buat kuliah keren-keren!”
“Uhm..terus?” masih tetap fokus pada novelnya, sambil sesekali menaikkan kacamatanya yang turun perlahan.
“Ada yang ke Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Geografi, Pendidikan Biologi! Wah, pokoknya keren deh! Dan yang jelas enggak ada satu pun yang ngambil Pendidikan Guru SD sebagai pilihan!” ujar Wiwi bersemangat hingga komiknya terlempar ke lantai, saking bersemangatnya.
“Uhm..terus?” Restu tak menoleh sedikit pun, dan ini menyulut emosi Wiwi meledak.
“Mbak! Dari tadi terus-terus mulu..? kapan ngasih tanggapannya??” Wiwi mendelik, sewot.
“Abisnya, kamu kan Kimianya pas-pasan! Matematika sama Bahasa Inggris apalagi, perbaikan melulu!” Restu menjawab dengan nada tinggi.
“Tapi kan Biologiku bagus Mbak!Jangan melecehkan gitu donk!” Wiwi membalas tak kalah sengit.
‘Hhuffh..’ Restu menarik napas perlahan. Kemudian berpindah posisi menjadi duduk bersila. Novelnya ia letakkan ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Restu menatap wajah adiknya yang bulat, penuh sayang.
“Wi, kalau kamu terus menentukan masa depan kamu cuma gara-gara takut kalah keren sama temen-temen kamu, itu pilihan yang salah. Kalau kamu enggak betah sama jurusan yang kamu masuki, apa temen-temen kamu bisa berbuat sesuatu? Yang ada mereka juga sibuk dengan SKS yang harus mereka lalui..”
“Iya Mbak, Wiwi ngerti banget kalau itu…tapi kan Kedokteran itu yang penting Biologinya bagus! Lagipula aku sangat menguasai Biologi..!” ujar Wiwi berargumen.
“Kata siapa? Kalau mau tembus ke kedokteran kamu kudu menguasai semua pelajaran eksak! Matematikanya kudu jago, Kimia, Fisika, apalagi Bahasa Inggrisnya…!”
“Hahahaa…si Mbak ini, masa Kedokteran kudu bagus Bahasa Inggris? Emangnya mau dokter atau mau jadi pramugari?” Wiwi memegang perutnya yang geli menahan tawa.
“Beuuhh..jangan salah Wi!” Restu kembali membenarkan posisi duduknya, pegal.
“Diktat-diktat kedokteran itu rata-rata berbahasa Inggris! Hahahaha…” kali ini giliran Restu yang tertawa, geli melihat ekspresi Wiwi yang tiba-tiba bengong.
Wiwi sadar, ia begitu lemah dalam berbahasa Inggris.
‘Masa kudu ngalah sih gara-gara bahasa Inggris doank?’ Wiwi merutuk dalam hati, sejak kelas tiga SD hingga kelas tiga SMA ia memang mempelajari bahasa Inggris, namun dirinya tetap tidak bisa menguasai bahasa Inggris. Bahasa yang aneh menurutnya, cara membaca dengan tulisannya sangat berbeda. Pokoknya pusing!
ooOoo
Ujian Nasional telah berlalu, kini tinggal persiapan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Bimbel selama tiga bulan di salah satu tempat Bimbel ternama telah ia lalui. Belajar mati-matian, itu pasti. Sadar akan kelemahannya tapi ia tidak mau mengalah dengan keputusan Mama-nya yang ingin memasukkannya ke sekolah calon-calon guru SD itu.
“Wi, belum tidur?” Mama masuk sambil berjalan mendekat menuju meja belajar.
“Belum, Ma.” Jawab Wiwi terkantuk-kantuk sambil terus berusaha mengerjakan buku paket Matematika dari tempatnya bimbel.
“Enggak usah dipaksakan, nanti kamu sakit…Soal SNMPTN kerjakan saja sebisamu.” Mama mengelus rambut lurus Wiwi pelan, begitu kasihan melihat putri bungsunya belajar mati-matian.
‘Ya Allah, berikan yang terbaik menurut-Mu bagi putriku…’ doa Mama dalam hati, tulus.
ooOoo
Keesokan harinya, Wiwi telah bersiap-siap pergi ke SMA Rancabuana untuk mengikuti SNMPTN. Ia memilih mengambil formulir IPC karena Mama memaksa “nitip” jurusan yang Mama inginkan, S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Jadilah ia memilih dua pilihan untuk Kedokteran, dan satu untuk PGSD.
SMA Rancabuana pukul 7.30, Matematika Dasar dan Bahasa Inggris…
“Aduuhh…apa jawabannya ya? Perasaan semalem enggak ada yang bentuk soalnya susah kayak gini deh?..ini Transformasi atau Fungsi ya?..” Wiwi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
SMA Rancabuana pukul 8.00, masih Matematika Dasar dan Bahasa Inggris..
“What the anonym of “fragile”?..apaan ya artinya??” Wiwi mengerut-ngerutkan mukanya, bingung.
SMA Rancabuana pukul 8.30, masih berkutat dengan Matematika Dasar dan Bahasa Inggris..
“Haduuuhh…tobat…!tobat!” ujar Wiwi setengah berteriak.
“Ehm!tolong jangan ribut.” Pengawas mendelik ke arah Wiwi, tajam.
SMA Rancabuana pukul 9.00, massiihh Matematika Dasar dan Bahasa Inggris..
Wiwi memejamkan mata. Membuka mata. Memejamkan lagi. Membuka matanya lagi. Sambil terus berharap mendapat “keajaiban” supaya kertas jawabannya bisa tiba-tiba ia dapati selesai dikerjakan.
SMA Rancabuana pukul 9.23, masssssiiiiihhh Matematika Dasar dan Bahasa Inggris..
“Dua menit lagi, silahkan periksa kembali sebelum kemudian pengawas akan mengambil jawaban anda semua.” Pengawas memberi peringatan. Mendengar itu Wiwi pucat seketika.
ooOoo
Pelajaran-pelajaran selanjutnya bisa ditebak, Wiwi mengerjakan sebisanya. Pasrah.
Sehari setelah tes SNMPTN berlalu, Wiwi jatuh sakit. Mungkin karena kerja kerasnya yang over. Semalaman Wiwi terus mengigau tentang SNMPTN. Mama begitu prihatin melihat keadaan putri bungsunya. Tiga hari sudah Wiwi sakit. Tidak terasa air matanya jatuh mengenai pipi Wiwi. Wiwi terbangun.
“Mama kenapa? Kok nangis?” ujar Wiwi parau.
“Enggak apa-apa, Wi..tidur aja lagi ya sayang..” Mama menghapus airmatanya, sambil berusaha tersenyum.
“Ma, maafin Wiwi ya..? Kemarin Wiwi ngotot banget mau masuk Kedokteran, tapi setelah Wiwi ikut tesnya Wiwi enggak berharap banyak lagi…” Mata Wiwi berkaca-kaca melihat wajah tua ibunya yang tidak pernah mengeluh dalam membesarkan kedua putrinya seorang diri, kemudian memeluk Mama erat.
“Udahlah Wi, enggak usah mikirin itu dulu…yang penting kamu sehat lagi” Mama mengusap kepala Wiwi perlahan. Wiwi berusaha tersenyum walau hatinya gelisah menanti hasil SNMPTN.
ooOoo
Pengumuman SNMPTN hari ini akan diumumkan lewat media cetak maupun elektronik. Wiwi berdebar-debar menanti hasilnya. Ia telah mempersiapkan segalanya, termasuk siap kehilangan muka di depan kakaknya dan Mamanya. Ayah Wiwi telah lama meninggal sejak Wiwi berumur tiga tahun. Dan ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga dan saat ini berprofesi sebagai pensiunan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Pontang.
Wiwi menghampiri salah satu agen koran langganannya, dan membeli satu. Sambil berjalan menuju halte, ia sibuk membolak-balik halaman. Satu-persatu nomor peserta tes yang tertera ia cocokkan dengan nomornya.
“Wiwi Widyawati…Ada!! Ya Allah…Alhamdulillah…aku tidak jadi kehilangan muka di depan Mbak Restu dan Mama..!!cihuyy..!” Wiwi meloncat-loncat kegirangan hingga tak sadar kalau orang-orang yang sedang berada di halte memperhatikannya dengan tatapan aneh.
ooOoo
“Assalamu’alaikum Mama….” Wiwi berlari ke dalam rumah. Pintu jati yang biasanya terasa berat, kini dirasa Wiwi begitu ringan. Wiwi menghambur ke pelukan Mama.
“Wa’alaikumsalam…kenapa nih anak Mama kayaknya seneng banget hari ini?”
Restu berjalan menghampiri mereka berdua, sambil membawa segelas air putih kemudian duduk di sofa. Kebetulan hari ini Jumat, jadi tidak ada jam kuliah.
“Iya Wi, tumben bener kamu semangat gitu? Mbak seneng deh ngeliatnya..” ujar Restu sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
Wiwi melepaskan pelukannya, berganti menghampiri Restu. Ditaruhnya Kompas yang ia beli ke atas paha Restu yang duduk bersila di atas sofa.
“Tuh lihat! Wiwi lolos SNMPTN Mbak!” ujar Wiwi bangga.
“Wuih…coba Mbak lihat!” Restu meneguk habis air putih yang sedari tadi ia pegang. Restu menyerahkan gelas kosong pada Wiwi, dan mulai membuka-buka halaman Kompas sambil terus mencari nama adiknya.
“Mana Wi?” Restu mengerut-ngerutkan keningnya, pusing melihat begitu banyak nomor peserta berurutan.
Wiwi mengambil korannya, dan mulai membuka-buka halaman sambil mencari namanya yang sudah ia tandai dengan stabilo hijau.
“Nih!Wiwi Widyawati!haha…” tunjuk Wiwi bangga.
“Eh iya, Ada! Wiwi Widyawati. Selamat ya Wi! Kamu lolos di PGSD. Meskipun Kedokteran enggak lolos tapi enggak apa-apalah..Mbak tetap bangga sama kamu!” ujar Restu tulus.
“PGSD???” Wiwi bengong.
“Hu-um” jawab Restu santai.
‘prangg..!’ gelas kosong yang Wiwi pegang, terjatuh. Pecah.
ooOoo
Seminggu yang lalu ospek telah berlalu. Banyak teman yang ia dapatkan, baik yang satu angkatan ataupun yang berbeda angkatan. Hal itu karena Restu – Mbaknya tersayang- juga menempuh pendidikan di universitas ini, bahkan dengan fakultas dan jurusan yang sama! PGSD.
Wiwi masih tidak rela karena harus kuliah di jurusan yang sama sekali tidak ia minati. Seringkali ia menganggap remeh mata kuliah yang berada di PGSD.
“Belajar pelajaran SD doank mah, keciiil..enggak ada tantangannya!” ujarnya suatu ketika.
Restu selalu mengajaknya untuk aktif di LDK, meskipun Wiwi menjalaninya dengan ogah-ogahan. Sebenarnya sejak SMP Wiwi juga aktif di Dakwah Sekolah, jadi tidak sulit untuk beradaptasi. Tapi gara-gara “Syndrome Kedokteran”-nya masih nempel, jadi agak susah untuk menikmati suasana kampus.
ooOoo
Satu semester telah ia lalui. IPK jeblok! Hanya 2,6. Ia tidak menyangka kalau IPK-nya akan sekecil itu. Secara, PGSD gitu lho! Wiwi menengadahkan wajahnya ke langit-langit kamar. Sepi. Sambil berbaring ia sibuk memikirkan keadaan teman-temannya yang saat ini menjadi mahasiswa kedokteran di berbagai universitas negeri ternama. Bahkan juga soulmate-nya, Ghea. Ia menyesali dirinya yang harus “tersangkut” di PGSD. Lamunannya terhenti karena dikagetkan oleh dering HaPe-nya yang menjeritkan My Immortal-nya Evanescence. Wiwi melihat layar HaPe, mencari tahu siapa yang meneleponnya hampir tengah malam seperti ini.
“Ghea..? Ada apa ya?” gumamnya pelan dengan raut muka penuh tanda tanya.
“Assalamu’laikum..?” Wiwi memulai percakapan. Tak ada jawaban, hanya suara tangisan yang terdengar dari seberang sana.
“Halo?..Ghe?? Halo? Kok nangis? Kenapa?” Wiwi bertanya-tanya.
“Wi, aku nggak kuat disini…aku pengen pulang..” Ghea menjawab sambil menahan isak tangisnya.
“Kenapa Ghe? Tenang dulu…kamu ada masalah disana?” Wiwi mencoba menenangkan Ghea. Cerita pun mengalir dari mulut Ghea bahwa ia tidak kuat berada di kedokteran karena harus mati-matian belajar gara-gara ada dua mata kuliah yang ia tidak lulus sehingga harus mengontrak ulang, padahal orangtua Ghea dan orangtuanya sama-sama hanya pensiunan Kepala Sekolah Dasar. Ghea bingung membayar uang SKS Kedokteran “kontrak ulang”-nya, padahal untuk uang pangkal pun orangtuanya dulu telah merelakan aset persawahan milik keluarga untuk dijual.
Wiwi tertegun mendengar penuturan Ghea. ‘Ghea yang juara umum di SMA aja merasa tertekan karena harus belajar mati-matian demi mempertahankan nilai di Kedokteran. Apalagi aku yang otaknya pas-pasan?’ Wiwi menghela napas. Berat. Kepalanya sibuk berpikir.
ooOoo
Hari ini Wiwi melangkah penuh semangat menuju kampus. ‘Cukup satu semester saja yang aku lewati tanpa makna berarti. Mulai hari ini aku tidak mau melangkahkan kaki tanpa tujuan pasti. Selamat datang Wiwi yang baru. Semoga Allah meridhoi lagkah-langkahmu dalam menuntut ilmu-Nya. Apapun itu’ Wiwi berucap dalam hati. Ia sadar bahwa Allah akan memberikan apa yang ia butuhkan, bukan apa yang ia inginkan. Karena yang ia inginkan belum tentu baik baginya.
Allah..berikan apa yang menurut-Mu terbaik bagi kami, bukan terbaik menurut kami. Karena Engkaulah Yang Maha Tahu atas segala sesuatu.
Saat itu, semilir angin pagi menyentuh ujung jilbab biru Wiwi lembut. Seolah ikut berbahagia menyaksikan seseorang yang telah berhasil mengungkap rahasia takdir Tuhannya.
Serang, 24 Februari 2009
9:44 PM
Cambuk atas diri, semoga perjuangan tak terhenti disini.