Assalaamu’alaikum wr wb

Sore tadi, setelah mengajar kelas menulis kreatif di Rumah Gemilang Indonesia (RGI), saya mendapat inspirasi untuk menulis tema ini. Ba’da shalat Ashar berjamaah, kami biasanya mendengarkan kultum yang diisi oleh para siswa RGI. Saat itu, yang mendapat giliran mengisi kultum adalah Abdul Aziz Alfuadi dari jurusan fotografi. Singkat sebenarnya uraiannya. Tapi padat dan membekas. Selesai kultum tersebut saya sampaikan kepadanya (dengan redaksi yang sudah saya perbaiki dalam tulisan ini): “Saya bisa mendapatkan inspirasi yang Anda sampaikan, dan insya Allah akan saya tulis. Anda juga bisa menulisnya. Saya berkeyakinan Anda bisa melakukannya. Cobalah!”

Abdul Aziz Alfuadi mengawali kultumnya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan berceramah, hanya sekadar sharing. Perumpamaan yang disampaikannya cukup menarik. Dia menyoroti tradisi tahunan di negeri kita, yakni mudik alias pulang kampung. Ia mencontohkan, bahwa di daerahnya, kebetulan ia berasal dari Palembang, seringkali orang rumah di kampungnya lebih tertarik kepada oleh-oleh yang dibawa serta orang yang pulang kampung. Kadang, mungkin ‘kejam’ juga, karena yang diperhatikan adalah oleh-olehnya, bukan orangnya. Hehehe…

Agar bisa pulang kampung, banyak orang perantauan akan berusaha semaksimal mungkin menyiapkan bekal. Beragam oleh-oleh yang bisa dibawa serta dalam mudik, akan diangkut dengan antusias. Untuk apa? Demi memuaskan orang rumah yang akan kedatangan si pemudik dan oleh-olehnya.

Sampai di sini, saya masih bertanya-tanya, apa maksud Abdul Aziz Alfuadi menyampaikan tentang mudik. Oh, ternyata saya mulai bisa menebak ketika ia menguraikan bahwa kehidupan kita di dunia ini akan berakhir dan akan kembali ke kampung akhirat. I Like It! Penyampaian retorika yang bagus.

Bekal apa yang harus dibawa? Tentu saja amal shalih. Amal shalih yang kita miliki yang akan menyelematkan kita di yaumil hisab (hari penghitungan). Hidup di dunia ini sementara dan sangat singkat. Rasulullah saw. menggambarkannya seperti orang yang berteduh di bawah pohon untuk beristirahat sejenak dalam perjalanan jauhnya. Beliau bersabda (yang artinya): “Tiadalah berarti bagiku dunia ini, di dunia ini aku bagaikan orang yang berkendaraan dan mampir bernaung di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkan pohon tersebut” (HR at-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Jika untuk mudik ke kampung halamannya saja orang rela membekali dirinya sedemikian rupa, mengapa untuk pulang ke kampung akhirat jarang yang mau peduli dengan bekalnya? Padahal, akhirat itu kampung halaman kita setelah kehidupan dunia ini. Kita akan kekal di sana. Semoga amal shalih kita yang akan menyelamatkan kita hinga akhirnya kita bisa menikmati surgaNya. Insya Allah.

Luqmanul Hakim pernah pada suatu saat memberikan wejangan kepada anaknya tentang perumpamaan dunia ini, ia berkata pada anaknya: “Wahai anakku! Ketahuilah bahwa sesungguhnya dunia ini merupakan lautan yang dalam dan luas, maka hendaklah engkau isi perahumu dengan ketakwaan kepada Allah Swt., dan di dalamnya diisi dengan keimanan kepada Allah Swt., sedangkan layarnya diisi dengan tawakkal kepada Allah Swt. Mudah-mudahan kamu selamat, namun saya tidak melihat kamu selamat.”

Dunia ini penuh pesona, kadang kita lupa akan pulang ke kampung akhirat. Jika iman sudah lepas, ketakwaan pun akan memudar, perlahan tapi pasti akhirnya kita menikmati dunia sebagaimana orang yang lupa akan kematian. Sepuasnya, semaunya, sakarepe dhewek. Akhirat malah dilupakan. Bekal untuk kesana pun sudah tidak dipedulikan lagi. Dunia memang bisa menipu.

Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS al-Hadiid [57]: 20)

Baiklah, ini sekadar catatan ringan saja. Jika mau ditulis lebih banyak, pastinya akan bisa berpanjang lebar. Sebagai salah satu bukti, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bisa menulis tentang negeri akhirat, khususnya tentang surga saja, begitu tebal dalam bukunya “Hadil Arwaah Ila Biladir Afrah” yang diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul: “Tamasya ke Surga”.

Sebagai penutup tulisan sederhana ini, ada baiknya kita merenungkan pesan Lukmanul Hakim kepada anaknya tentang kehidupan dunia dan akhirat: “Wahai anakku!, juallah kehidupan duniamu demi kehidupan akhiratmu, niscaya kamu akan mendapatkan kedua-duanya. Dan jangan sekali-kali kamu jual kehidupan akhiratmu demi kehidupan duniamu, sebab hal itu akan membuatmu kehilangan kedua-duanya”

Sekali lagi, tulisan ini adalah inspirasi dari kultumnya murid saya, Abdul Aziz Alfuadi, siswa Rumah Gemilang Indonesia angkatan ke-4. Saya poles lagi dengan beberapa informasi tambahan yang saya ketahui. Tulisan ini juga sekaligus untuk memotivasi Abdul Aziz Alfuadi dan siapa saja, khususnya murid-murid saya di Rumah Gemilang Indonesia kelas menulis kreatif, bahwa inspirasi menulis bisa datang dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Itu sebabnya: buka mata, pasang telinga, rekam, dan tulislah kembali dengan memberikan tambahan informasi sesuai kebutuhan dan keperluannya. So, jangan berhenti menulis dan tetap semangat!

Salam,

O. Solihin | Instagram @osolihin

Foto diambil dari sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *