Oleh: A. Farid Miharja

bunga-siluetIrama mega merah ufuk menutup malam yang hening, kristal embun bertengger di atas pucuk ilalang, jangkrik dan binatang melata lainnya tersiul mengiringi semilir angin yang berjubah dingin. Desa El Faden yang sangat indah redup dalam keheningan itu. Lampu jalan berasap, tanah berembun, tak ada suara lain kecuali nyanyian itu.

Hidup gadis yang sangat cantik di desa itu dengan tubuh semampai dan gerak langkahnya dia ukir setiap penjuru jalan, kulitnya halus berkuning langsat terbelalak setiap mata yang mencuri dan mengikutinya, rambutnya terurai di atas pinggulnya dibelai oleh angin-angin nakal tidak hanya dia cantik sikap perangainya sangatlah tercermin budi pekertinya, sangatlah sulit membaca dia dengan ayat-ayat Tuhan tak juga sabda utusan, walau dengan harta yang melimpah dia lebih senang “akancah” dengan anak jelata jalanan. Siapakah dia sebenarnya, Malaikatkah atau bidadari? Kebanyakan orang memanggil gadis itu Reva, dia lain dengan yang lain yang sama-sama anak orang-orang berpunya yang tak pernah pedulikan sesama. Kenyataan berbicara pada zaman sekarang yang tak mau tahu dengan nasib sesamanya tapi tidak dengan Reva!

Mentari terkancing di pusara langit menghiasi keindahan desa El Faden, Reva berhias diri di kamarnya untuk berangkat sekolah dengan baju tak selayaknya anak pengusaha yang sukses.

“Reva…! Cepat berangkat ke sekolah nanti kamu telat!” terdengar suara tengah baya mengingatkan.

“Ia Ma bentar lagi masih cari buku yang dibaca tadi malam, aku lupa ditaruh di mana?”

“Apa! Kkok bisa lupa? Kamu simpan di mana tadi malam, bibi kemana? Apa dia sudah lupa dengan tugasnya menyiapkan perlengkapan sekolah kamu” seraya nada menciut mau berhias amarah.

“Reva yang minta Ma untuk tidak nyiapin peralatan sekolahku, Bibi kan repot di dapur” dengan lembutnya dia menjawab mamanya.

Mentaripun tak lagi tersenyum ia menjilat bumi dengan lidah baranya bau angus bumi mulai terbaca oleh hidung-hidung para pekerja, di kantin itu dimana tempat para siswa melepas penat sehabis pelajaran berlangsung, semua berpetak ada yang sambil membaca buku, sebagian ada yang obral pembiraan dengan temannya.

“Rev kamu tidak ke kantin sekarang? Tanya Abel

“Lagi males Bel kamu saja ke sana!”

“O…ya sudah aku ke kantin ya, met belajar Bu guru!” sahut Abel secara mengejek.

Panas mentari bertambah liar mengucurkan peluh keringat dari pori-pori tubuh, kipas kertas mulai begoyang pada jari, begitu keadaan sekolah Reva kala musim kemarau tiba, cahaya mentari menyengat mengahanguskan tubuh lain dengan desa El Faden yang selalu sejuk dan berseri. Terhias oleh deretan pohon kelapa yang menjulang tinggi ingin menembus angkasa.

“Rev kok jalan kaki sopir pribadimu mana? Tanya Fariz

“Ada aku jalan kaki saja ingin merasakan bagaimana bahagianya teman-teman jalan kaki pulang kerumahnya sambil lihat kanan kiri jalan yang bebas seperti burung!”

“Kamu ada-ada aja Rev, apa nanti tidak merusak kulit tubuhmu?”

“Memangnya tubuhku hutan apa, ada rusakan segala? Reva menjawab dengan kata balik tanya pada Fariz.

“Ya maaf. Aku duluan ya!”.

Fariz menghilang dari sepasang tatapan Reva, dengan langkahnya dia terus menyusuri jalan menuju Halte. Ditengah jalan dia bertemu dengan Pak Lesi sopir pribadi Papanya.

“Non, kok jalan kaki Parto mana, dia tidak menjemput non ya?”

“Aku yang suruh Parto untuk tidak menjemput aku”

“Kalau nyonya tahu nanti parto bisa dipecat non, (Bapak tenag saja tidak mungkinlah, bapak jemput papa saja sana nanti aku naik angkot saja!)”

Begitu aneh sikap anak jelita itu, dengan kemewahan hartanya dia tidak mau menggunakannya, apa sebenarnya yang bergulat dengan dalam hati Reva, mungkikan dia lebih menginginkan hidup sederhana apa adanya. Atau dia belajar mencari kemandirian entahlah yang jelas dia tidak mewarisi gelagat orang tuanya.

Rumah besar dipersimpangan jalan terdengar ramai, adu mulut bersautan suara laki-laki dan suara perempuan juga terdengar suara memelas minta dikasiani, tangisan pemohonan dan suara janji terkuak.

“Maaf nyonya bukannya saya tidak mau menjemput non Reva, tapi non saja yang minta!”

“Alah! itu alasan kamu saja, bilang saja kamu malas untuk menjemput Reva, dia anak cewek kalau terjadi apa-apa sama dia kamu mau bertanggung jawab?” katanya seranya membentak.

“I…iy…iya Nya se…k”

“Sudah-sudah sekarang kamu cari Reva. Kalo belum ketemu kamu jangan pulang”

“Baik Nya!”” Cepat sana”

Dengan tubuh gemetar Parto beringsut keluar menghidupkan mobil, waktu berjalan menghitung putaran roda mobil Parto. Reva tak terlihat ujung dilidahnya. Kehawatirannya bercabang antara dipecat dan tidak menemukan non Putrinya. Nasib apes memang bersatu dalam diri Parto, dia bingung harus kemana lagi mencari. Dengan penuh semangat dia terus mengikuti ruas jalan. Dipinggiran dekat lesehan dia berhenti melihat sosok jelita yang lagi ngamen dengan anak-anak jalanan.

“Non… kamu ngapain disini? Nyonya khawatir terjadi apa-apa. Mari pulang!”

“Bentar lagi lagi asik nih. Ini buat kamu dan bilang sama Mama aku baik-baik saja”

“Tapi, non nyonya bilang aku suruh bawa non pulang kalau tidak aku tidak boleh kembali lagi dan yang jelas aku akan dipecat non”

“Mama ada-ada saja ya sudah aku pulang”

ooOoo

Dua tahun berlalu Reva sudah tambah dewasa tanaman di taman rumahnya semakin rimbun bunga-bunga yang mekar dulu beringkarnasi penuh banyak perubahan dalam rumah mewah itu, dia sekarang duduk di kelas 1 SMA tapi semua itu tidak sedikitpun merubah prinsipnya dia tetap senang hidup apa adanya tengtang kekayaan tak pernah terlintas dalam benak hatinya.

“Reva sudah besar ma jagan perlakukan Reva sama dengan anak kecil lagi”

“Bukan begitu sayang mama tidak ingin terjadi apa-apa sama kamu”

“Mama berlebihan melakukan semua inipada Reva”

“Sudah Ma, apa yang di katakana Reva benar Reva bukan anak kecil lagi” sahut Papa Reva dengan lembaran Koran ditangannya.

“Tapi Pa! Mama hanya tidak ingin Reva bersama anak-anak jalanan itu”

Mendengar kata-kata mamanya seperti Reva menghamburkan tubuhnya kekamar dan membanting tubuhnya ditempat tidurnya, air matanya mengalir membentuk anak sungai dipipinya. Dia tidak terima teman-temannya dihina oleh orang tuanya. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya mengapa orang kaya dan orang miskin harus dibedakan? Padahal mereka sama-sama ciptaan Tuhan yang hidup dan berjalan di atas muka bumi, yang membedakan di kehidupan nanti bukan harta atau apa tapi pengabdian kita sama yang Kuasa, kenapa harus ada perbedaan, kenapa?

Tak satupun ada yang menjawab lambayan selambu, jajaran boneka semua terdiam hanya angin yang bertiup seakan ingin berbisik. Perang batin masih terus berlanjut terbawa dalam tidur Reva.

Sementara dua actor masih tukar pendapat mencari cara masing-masing, terdiam sejenak menghela nafas panjang, Reva tetap asyik dengan mimpinya waktu bersama teman-teman seperjuangan ditengah jalan yang sesak dengan asap knalpot kendaraan sesekali duduk menghitung hasil yang telah didapatnya, dengan senyum yang terus mengenbang dilapisan bibir mereka masing-masing.

“Lalu gimana dong Pa dengan Reva, Mama tanya sama Papa bukannya sejak kecil Reva selalu sama Mama ya begini jadinya dengan sikap Mama yang berlebihan pada Reva”

“Kenapa Mama yang malah disalahkan Pa? Mama hanya tidak ingin Reva tak punya masa depan”

“Cukup Ma! Mama bilang takut Reva tidak punya masa depan justru dengan perlakuan mama itu membuat aku kehilangan masa depan, aku capek Ma… aku capek. Jika Mama tetap memperlakukan aku seperti itu, aku akan pergi dari sini, dari rumah ini lebih baik aku tinggal sama kakek” putung Reva yang sedari tadi mendengarkan Mama dan Papanya.

“Terserah kamu saja mau kemana, bila itu terbaik bagi kamu tapi ingat jangan pernah kamu injakkan kaki lagi kerumah ini, ingat itu!”

“Mama…TAaAr…rRRrR#%$%$#^***&^%$$$@###%*” bunyi Tamparan mengelus pipinya.

“Teganya Mama sakitin Reva, apa yang mama anggap selama salah, Papa diam bukan karena apa? tapi berharap semoga Mama membuka hati ternyata semuanya sia-sia, Mama tetap sperti ini, masa depan seseorang bukan ditentukan oleh harta, harta hanya titipan dari yang Kuasa, masa depan tergantung dengan keinginan bukan harta, jika semuanya telah diminta kembali oleh-Nya kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita akan jadi gelandangan. Seharusnya Mama bersyukur punya anak yang masih peduli sesama. Kita hidup tidak akan selalu berkecukupan kita pasti membutuhkan orang lain, orang lain Ma”

Reva menangis sejadinya, Mamanya terdiam terlihat bintikan bening muncul dari sudut matanya, penyesalan telah menjumpai hidupnya, kesadaran telah mengutak-atik hatinya. Keegoisannya berterbangan nyamperin matahari dari segenap jurusan, bak kilat dia menyambar anaknya dan memeluknya erat seraya berucap. “Maafkan Mama sayang Mama salah, Mama khilaf, kamu mau kan maafin Mamamu yang penuh dosa dan salah ini” sekali dia menoleh pada suaminya, dan minta maaf pula.

Perubahan sikap Mama Reva merubah dunia, dunia rumah tangganya tidak ada lagi kemarahan, tidak ada lagi istilah pembantu semua adalah keluarga, Mama Reva merasakan betapa pentingnya orang lain bagi orang lain, betapa bahagianya berbagi dengan orang lain.

Fajar yang cerah terdengar suara syair burung-burung dan kumbang bersahutan merayu bunga-bunga yang sedang mekar, lalu hinggap dirahim bersari. Apa kebahagian burung kumbang dan apa kebahagiaan bunga-bunga? Damaikah dunia? Atau malah sebailiknya? Dari syair itu, tangisan burung dan kumban yang tak lagi mendapatkan kebahagiaan.

“Ma, Pa kalau boleh Reva minta izin, mungkin inilah saatnya Reva bilang sama Mama dan Papa, Reva ingin menimba ilmu ke-Islaman, Reva merasa sangatlah butuh dan butuh sekali”.

“Terserah kamu saja sayang, tapi ingat pesan Mama jagalah pergaulan jangan kelawat batas, kamu bahagia Mama dan Papa juga bahagia”

Mendengar jawaban Mamanya, mata Reva berbinar-binar penuh bara semangat karena keinginannya sejak kecil terkabulkan. Yaitu mempelajari ilmu tentang agama, dia pun mulai berkemas untuk berangkat menuju dimana yang dia inginkan.

Pondok Pesantren An-Nabila di El-Karc yan dituju Reva satu-satunya pondok besar di kota itu yang merupakan pondok terbesar kedua di kota tetangga. Di An-Nabila para santri tidak hanya belajar bidang keagamaan, bidang umum juga dipelajari di sana. Dari bidang keagamaan para santri diajari kitab-kitab kehilangan harkat entah dimana dan tak tahu dimana harkat itu bersembunyi? Tapi dengan pembelajaran yan tekun dan ulet para santri bisa membacanya.

Reva berangkat dengan penuh semangat dan berharap dalam hatinya menjadi manusia yang bisa membahagiakan orang tuanya dunia dan akhirat nanti serta berguna bagi orang lain bangsa dan negaranya. (Alhamdulillah)

Jember, 09 Mei 2009

1 thought on “Kembang El Faden

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *