Oleh Nur Handayani

Kami merasa bersyukur karena Allah Swt. yang telah memberikan kami keluarga yang bahagia. Kebahagiaan itu salah satunya ada pada ketiga buah hati kami: Qais (7 tahun), Rafi (4,5 tahun), dan Sausan (2 tahun). Bermain dan bercengkrama dengan mereka tak pernah membuat saya merasa bosan. Meski ada saja kenakalan-kenakalan atau kerewelan khas anak-anak yang mereka lakukan setiap hari. Tapi itu tak membuat saya merasa jera dan pusing karena saya sudah memiliki komitmen bahwa memiliki anak dalam pernikahan ini adalah pilihan. Jika pilihan berarti mau tidak mau saya (dan juga suami) harus siap untuk membina, mendidik, dan mengarahkan untuk masa depan mereka yang lebih baik.

Perilaku kurang baik yang dilakukan anak-anak saya itu salah satunya adalah dalam menghargai waktu. Dua anak lelaki saya yaitu Qais dan Rafi, mereka nampak asyik kalau sudah di depan televisi menonton acara kesukaannya. Saking asyiknya, serasa dunia bagai milik mereka berdua. Sapaan salam dan panggilan sayang saya sebagai ibunya tak pernah digubris. Dampak negatif lainnya semua jadwal yang seharusnya mereka lakoni jadi tidak terlaksana. Saatnya mereka harus mandi, makan, bermain dan belajar tidak mereka hiraukan. Sholat juga seringnya ditunda saja.

Untuk mengantisipasi hal itu, saya dan suami mencoba membicarakan dengan anak-anak. Hingga suatu waktu saya ngobrol baik-baik kepada buah hati saya itu: “Kalau Qais dan Rafi begini terus, nanti Qais dan Rafi termasuk orang yang tidak menghargai waktu. Yang rugi siapa? Qais dan Rafi juga kan? Mau berangkat sekolah, telat terus. Mandi diulur-ulur terus waktunya karena asyik menonton acara televisi, padahal jika teman Qais dan Rafi ngajak main, sementara Qais dan Rafi belum mandi, Qais dan Rafi lebih memilih main dan tidak mandi.” Mereka tampak seperti mengerti omongan saya.

Tapi sebenarnya saya masih belum merasa yakin mereka mau mendengar nasihat tersebut. Sehingga akhirnya saya dan suami memutuskan untuk mengungsikan sumber masalahnya, yakni televisi. Maka, saya sampaikan kepada anak-anak saya kalau tidak mau mengubah sikapnya untuk sementara waktu televisinya akan diungsikan dulu ke kamar lain. Mereka diam saja.

Akhirnya, malam hari ketika mereka tidur, televisi kami pindahkan ke ruangan lain yang mereka tidak mungkin untuk bisa mengoperasikannya. Sepanjang malam kami berdoa dengan penuh harap dan cemas semoga ini ada kemudahan dari Allah Swt. dan kami yakin harus melakukan ini demi kebaikan anak-anak kami.

Esok hari seperti biasa bila mereka bangun dan yang mereka tanya adalah remote televisi. Saat itu ketika televisi yang mereka cari tak ada di tempatnya mereka kebingungan. Mereka seakan-akan mengerti tentang pembicaraan ibu dan ayahnya semalam. Tapi menjelang siang hari dan malam hari terlihat gelagat yang saya khawatirkan. Mereka menangis dan mengamuk. Inilah ujian bagi saya. Hati saya terasa teriris dan ingin menangis. Bisa dibayangkan, saya harus merenggut kesenangan mereka selama ini dalam waktu sekejap. Tapi saya memang harus merasa tega dan tidak boleh kalah, sebab menurut saya ini baru di awal dan ini semua untuk kebaikan mereka. Ya, saya harus punya sikap tegas.

Ketiadaan televisi menuntut kami untuk menghibur mereka. Perasaan kami yang merasa bersalah karena merenggut kesenangan mereka menjadikan kami harus rela melebihkan waktu untuk mengalihkan ingatan mereka dari acara televisi kesukaannya. Apalagi mereka tahu jam tayang acara-acara kesayangan mereka. Belaian dan kecupan seringkali kami berikan untuk meredam emosi mereka yang meledak-ledak. Awalnya memang sulit bahkan kami hampir kalah. Sempat teruji juga dengan rayuan yang memelas dari bibir-bibir mereka yang lucu itu agar mereka bisa nonton acara kesayangannya. Tapi kami bergeming.

Untuk mengalihkan perhatian mereka terhadap televisi, saya mengisi jam-jam di mana mereka biasa menonton acara televisi dengan games-games atau bercanda bersama dan membacakan buku cerita kesukaannya serta menemani Qais mengerjakan PR sekolahnya. Itu kami lakukan selama seminggu sambil memberikan pengarahan tentang keputusan kami mengungsikan televisi sementara adalah demi kebaikan mereka untuk menghargai waktu.

Alhamdulillah seminggu telah berlalu, hari-hari kami menjadi lebih bermakna karena kami sebagai orangtua jadi lebih mengerti tentang pentingnya mendidik dan membimbing serta mendampingi anak. Mereka adalah tanggung jawab kami. Masa depan mereka ada pada kami sebagai orangtuanya.

Nah, untuk ketiga buah hatiku, Qais, Rafi, dan Sausan Umi bangga memiliki kalian. Umi selalu menyayangi kalian. Umi juga akan selalu menjaga kalian. Kalian adalah investasi terbesar yang pernah Abi dan Umi punya. Tulisan ini adalah kado untuk kalian semua. Salam sayang dari Umi. Mmuaaah![]


Nur Handayani adalah ibu rumah tangga, tinggal di Bogor.  Catatan: tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, 2 Nopember 2007

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *