menulis-deuiSejak PERMATA berhenti terbit itu aku hidup “terlunta-lunta” di Bogor. Nginep di tempat kos teman, dan juga sekretariat kegiatan dakwah bareng temen-temen aktivis lainnya. Sebab, untuk ngekos sendiri kayaknya belum bisa waktu itu karena persoalan finansial. Jadi deh diriku ini sebagai nomaden, pindah dari satu kos teman ke tempat kos teman lainnya. Nggak tetap, selain untuk menghilangkan kecurigaan pemilik kos dari teman yang aku singgahi juga untuk nambah pergaulan aja dengan teman lainnya. Beruntung kesempatan untuk memoles keterampilan menulisku tetap ada. Karena hampir semua temanku memiliki komputer. Maka, sepanjang tahun 1998 itulah aku rajin nulis dan beberapa tulisanku nangkring di harian Republika, rubrik Hikmah. Begitu dapat honor, waktu itu Rp 100 ribu setiap tulisan di rubrik Hikmah tersebut senang banget rasanya. Dalam sebulan ada tiga atau empat tulisan yang dimuat di rubrik tersebut. Alhamdulillah masih bisa menyambung hidup.

Beberapa karya juga berhasil aku buat, di antaranya Serial Ogi. Banyak pengalaman yang aku dapatkan dalam perjalanan hidup tersebut aku tuangkan dalam cerita Serial Ogi. Karena diangkat dari kisah nyata, hanya diberikan bumbu-bumbu dan kembang-kembangnya supaya menarik maka aku menuliskannya lebih totalitas.

Namun, di pertangahan tahun 1998 itulah, aku mulai menemui banyak kesulitan seiring banyaknya kebutuhan untukku sendiri dan juga orang tua di kampung halaman demi menyuplai kebetuhan biaya pendidikan adik-adikku. Maka, pada Juli dan Agustus 1998 aku mulai mencari pekerjaan sesuai dengan keahlianku dari bangku sekolah kejuruan kimia. Aku mencoba melamar kerjaan di perusahaan jasa konsultan perminyakan di Jakarta. Aku sudah berpikir bahwa karirku di dunia tulis-menulis mungkin akan tamat jika diterima kerja di sana. Sebab, kata temanku yang sudah bekerja di sana, kerjaannya padat dan sering ke luar kota. Tapi demi menyambung hidup dan sebagai wujud tanggungjawab kepada ibu dan adik-adikku (karena bapak udah cerai dengan ibu dan mulai jarang ngasih biaya pendidikan buat adik-adikku), akuĀ  ngelamar dan ikut tes di perusahaan tersebut. Beberapa tahapan tes berhasil aku lalui dan sukses, hanya saja ketika tes akhir berupa wawancara tak berhasil. Tapi, tetap ada hikmahnya bagiku bahwa sangat boleh jadi itu bukan jalan terbaik buatku. Mungkin saja kan?

Aku lanjutkan hidup sampai kemudian paman yang mengetahui aku luntang-lantung dan runtang-runtung di Bogor, menyuruhku tinggal di Bandung bersamanya sambil nyari kerjaan di sana. Ada kejadian yang cukup mengharukan pas aku hendak pergi ke Bandung. Saat itu aku dianter sama teman dekatku, M. Iwan Januar, sampe Terminal Bis Baranangsiang. Jam lima pagi. Aku baru merasakan saat-saat perpisahan yang begitu mengharukan. Maklum jarak Bandung dan Bogor meskipun tak terlalu jauh, tapi pasti karena aktivitasnya berbeda dan tempatnya berbeda akan jarang bisa ketemu. Apalagi waktu itu aku belum punya ponsel, jadi kalo pun mau komunikasi pasti harus menelepon dan biayanya tentu saja interlokal.

Seminggu berada di Bandung, di rumah pamanku ternyata membuatku malah kesepian. Maklum, meskipun waktunya banyak luang karena sambil nyari kerjaan, tapi nggak ada fasilitas untuk mengasah keterampilan menulisku. Maka, nggak sampe sebulan aku minta ijin untuk balik lagi ke Bogor. Untung pamanku mengijinkan, apalagi memang waktu itu pamanku akan melanjutkan pendidikan ke luar kota. Ya, sudah pas momennya.

Saat di Bogor, aku kembali menemukan duniaku dalam menulis. Komputer teman sering aku pinjam dan aku tuangkan semua gagasan-gagasanku di benda itu. Temenku ini sebenarnya adik kelas di SMAKBo (kini lagi ngelanjutin studi pasca sarjananya di Thailand, terima kasih kawan). Bulan Oktober 1998, meski aku belum punya penghasilan tetap, aku memberanikan diri untuk melamar seorang gadis yang akhirnya kini menjadi ibu dari anak-anakku. Uniknya, begitu lamaranku kepada gadis inceranku ini diterima, aku juga diterima bekerja di sebuah perusahaan bahan kimia atas bantuan dari dia dan atasannya yang merupakan mitra dari direktur perusahaan yang aku lamar tersebut. Oya, untuk cerita tentang perjalanan cintaku ini dan kisah cinta lainnya, bisa dibaca di buku hasil keroyokan beberapa penulis yang diterbitkan DAR! Mizan, judulnya How to Get Married.

Sayangnya, aku harus berhenti bekerja dari perusahaan tersebut pada bulan April 1999. Padahal, di situ aku diberi kebebasan untuk menuangkan gagasanku karena aku diijinkan nginep di kantor dan boleh menggunakan komputer perusahaan, tentu di luar jam kerja untuk aktivitas pribadiku dan bahkan boleh menggunakan fasilitas internet. Kenapa aku berhenti kerja di sana? Itu juga dengan pertimbangan lain, yakni aku diminta sama guru ngajiku untuk ngurus administrasi di sebuah lembaga dakwah yang waktu itu menjadi tanggungjawabnya. Nah, tentu karena ada komputer dan fasilitas internet serta tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia membaca dan menulis itulah akhirnya aku memilih kerjaan tersebut.

Alhamdulillah dengan jenis pekerjaanku saat itu, aku semakin terasah menulis. Cukup lama juga sampai akhirnya aku benar-benar menemukan dunia menulis yang sesungguhnya. Bahkan pada akhir Desember 1999, aku menawarkan kerjasama dengan seorang teman untuk merintis usaha penerbitan buletin remaja, dan diberi nama STUDIA. Alhamdulillah pada Januari tahun 2000, buletin remaja itu resmi terbit perdana. Kemudian, pada bulan Februari 2000, tiga bulan setelah aku menikah aku diajak teman di Jakarta untuk bergabung dengan majalah MIMBAR. Bahkan yang membuat senang, Iwan Januar pun ikut serta dalam pekerjaan tersebut. Walhasil, aku merasa makin mantap dengan dunia tulis-menulis. Apalagi ada tambahannya, yakni dunia jurnalistik. Aku makin tenggelam dalam kesenangan mengasah kemampuan menulisku. [bersambung…]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *