by: Nafiisah FB (Mentor KMO Skenario/http://nafiisahfb.co.cc)

surga1“Jadi kapan elo bisa ke sini?”

“Aku enggak tahu, Kay. Maaf. Bukannya aku enggak mau ke sana. Tapi, jadwalku emang padat banget minggu ini. Nanti, deh, aku kabarin kalau aku udah punya waktu. Ya ?”

“You always say that!”

Klik! Farah terhenyak. Telpon diputus dari seberang. Tidak ada prasangka sebelumnya. Namun, kemarahan yang tersirat membuatnya berpikir … sejenak.

Lagu Tombo Ati menginterupsi. Farah cepat mengangkat ponsel yang tergeletak di sampingnya, membuyarkan sejenak serangkaian pertanyaan tentang Kayla yang tadi mencuat.

“Assalamu’alaikum,” sapa Farah ramah.

“Wa’alaikum salam. Far?”

“Dinda? Ada apa, Din?”

“Meeting konsolidasi jadi besok, ya. Jam 10.”

“Oke. Insya Allah.”

“Sampai ketemu besok. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam.”

Farah menggeletakkan ponselnya di atas meja komputernya. Ada foto dirinya dan Kayla yang sedang menebar tawa. Ceria! Kembali nafas panjang dihelakan. Kemarahan Kayla yang masih menjadi misteri kembali menyelimuti pikiran …. sebentar.

Lagu Tombo Ati kembali terdengar. Farah cepat meraih ponselnya.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah, akhirnya bisa nyambung juga. Far, kamu kemana aja, sih?! Dari tadi kita kontak kok enggak dijawab ! Deadline, nih, deadline!”

“Sori, Bu. Lowbatt. Baru aja selesai di-charge! Sabar, ya, Bu. Ini juga lagi dikerjain. Dua jam lagi, deh, aku kirim. Belum telat, dong.”

Senyum berusaha disertakan ketika Farah mencoba mengemukakan alasan. Cukup mujarab.

“Belum, sih. Tapi, bener, ya. Aku tunggu, lho.”

“Insya Allah,” jawab Farah sambil melirik ke jam dinding yang telah menunjuk pukul sembilan malam.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Farah lemah menaruh ponselnya kembali di atas meja. Telpon Hanum, sejawatnya di sebuah majalah wanita, membuatnya harus bersiap terjaga malam itu.

Farah memainkan kembali jari-jemarinya di atas keyboard komputer dengan setengah konsentrasi. Suara marah Kayla masih menjejali mood-nya saat itu.

Beberapa belas menit Farah membiarkannya pikirannya menjelajah di sebuah negeri yang menjadi fokus tulisannya untuk edisi bulan mendatang. Dia terus merangkai huruf, kata demi kata lalu menjadi kalimat.

Suara tone SMS dari ponselnya membuat pikiran Farah menjejak kembali. Dia menekan tombol dan sebuah pesan kini jelas terlihat.

Gua enggak akan ganggu elo lagi. Gua pergi.” Sender: Kay Sayang, 081XXXX.

Hening. Farah hanya mampu diam. Dia mencoba mengerahkan kemampuan analisanya untuk mengurai pesan menjadi jawaban, namun gagal.

Farah tetap memaku diri di atas kursi. Ingatannya melaju ke dua tahun silam.

Kecelakaan yang merenggut nyawa papa dan mamanya dua tahun lalu masih mengguratkan pilu bagi Kayla. Kayla berada di belakang setir ketika kecelakaan itu terjadi. Drugs menjadi pelarian atas rasa berdosanya, dan Farah sadar ia belum sepenuhnya mampu menjadi teman bagi rasa dukanya.

“Kayla …,” desah Farah dalam penyesalan.

oooOooo

Kamar itu kelam. Lampu di meja di samping springbed tidak cukup memberikan cahaya bagi seluruh sudut ruangan. Namun, itu yang diinginkan Kayla malam itu. Temaram.

Kayla membanting handphone-nya ke atas peraduan lalu menarik kedua kakinya ke arah badan. Tangannya lalu meraih remote radio tape yang tergeletak tidak jauh dari jangkauan tangan, kasar. Hitungan detik berjalan, kamar yang kelam bergetar. Intro musik lagu Simple Plan terdengar.

“There you go ! You’re always so right ! It’s all a big show ! It’s all about you!”

Lagu yang menghentak tidak membuat Kayla bergerak. Kontradiksi dia perlihatkan. Asap rokok terus melumat udara sekitar. Hampa terlihat di matanya.

oooOooo

Farah terbaring telentang badan. Keinginan untuk menyelesaikan deadline telah terhanyut oleh sebuah perasaan. Kehilangan. Itu yang Farah rasakan. Baru saja itu muncul dalam bentuk yang lebih nyata. Kehilangan yang sempat lenyap dari kesadarannya setelah empat bulan berkutat oleh berbagai kesibukan; kelompok diskusi buku yang dikoordinatorinya, rumah baca yang dikelolanya, berbagai tulisan yang harus diselesaikannya.

Begitu banyak orang baru yang telah ia sapa dalam empat bulan perjalanan kesibukannya. Begitu banyak wajah yang dia cerahkan dalam sekian bulan perjumpaan. Namun, seseorang di satu tempat terlupakan.

Farah menghela nafas panjang. Setetes air mata jatuh mengguliri pipi lalu sedetik kemudian menjadi hujan.

“Astaghfirullah ….” Isak panjang menjelma.

“Aku harus ke sana.” [bersambung…]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *