By: Pipiet Senja
Hari ke-99 di ruang isolasi sebuah rumah sakit pemerintah.
Mesin pencatat detak jantung masih memperdengarkan bunyinya yang khas. Mendengung, menggaung dan memecah nuansa muram ruangan serba steril, serba putih dan serba hening. Yah, di sinilah aku berbaring dalam keadaan sangat parah. Para dokter menyebutnya sebagai situasi in-coma.
Sesungguhnya kupingku masih mendengar. Otakku bahkan masih bisa berpikir. Meskipun kadang timbul-tenggelam. Persis hasil pencatat detak jantung di sebelah tempat tidurku itu. Kadang berdetak-detak teratur, kadang pula menaik dan menurun. Suatu kali malah sempat mendatar…, beberapa detik!
Di ruangan sangat hening ini aku sesungguhnya tidak sendirian. Ada tiga tempat tidur yang selalu diisi. Tapi mereka tak pernah berlama-lama tinggal di sini. Paling beberapa jam, dua atau tiga hari mereka biasanya langsung dipindahkan. Ada yang pindah ke ruang rawat inap biasa. Tapi lebih banyak yang diangkut ke ruang jenazah!
Satu-dua di antaranya aku kenal dengan baik. Meskipun hanya beberapa saat. Kami berkomunikasi ala pasien in-coma. Caranya hanya kami yang paham. Kamu nggak percaya kan? Ya sudah, toh aku sudah lama juga nggak punya kepercayaan itu. Terutama dari orang-orang paling dekat, orang serumah.
Aku jadi teringat lagi dengan salah seorang mantan tetanggaku. Sekitar dua minggu yang lalu, tengah malam, ranjangnya didorong ke sebelahku. Seorang koas mengatakan bahwa pasien itu baru menjalani operasi. Urat di pergelangan tangannya nyaris putus. Kondisinya sangat parah. Terutama karena tak ada semangat hidup lagi dari dalam dirinya. Padahal dia begitu muda dan cantik. Umurnya tentu setahun lebih muda dariku.
“Aku memang mau bunuh diri!” cetus Mona setelah ruangan kembali hening. Hanya seorang perawat jaga di ruang sebelah. Tiga rekannya biasanya bergiliran tidur di ruang piket seberang.
“Pasti gara-gara putus cinta,” komentarku mendadak sinis.
Orang berjuang setengah mati kepingin hidup. Ini kok malah sengaja melenyapkan kehidupan, anugerah terindah dari Sang Khalik. Sungguh tak tahu diri anak manusia ini!
“Bukan,” bantahnya luka sekali, seiring bunyi detak jantungnya yang semakin melemah. “Gara-gara nafsu bejat lelaki itu…”
“Oh, maaf… Lelaki yang mana?” cecarku khawatir dia keburu lewat.
“Itu yang paling sok sedih, sok sibuk, sok banyak berdoa, huuh! Munafik jahanam!”
Dan aku ingat, memang ada seorang lelaki dengan ciri-ciri seperti itu di antara rombongan pengantar.
“Sepertinya, eh, pantasnya dia ayahmu?”
“Seharusnya kuhormati sebagai ayah kandungku. Nyatanya dia sudah menghancurkan hidupku…”
Aku merasa gadis itu sudah mau menyerah. Tak sudi lagi mempertahankan hidupnya, bahkan barang semenit pun!
“Apa yang sudah dilakukannya?” kejarku penasaran.
“Dia sudah menghancurkan kehormatanku. Anaknya sendiri. Aduuuh! Aku lebih suka matiiiii…!”
Tuuut, tuuuut, tuuuut… Bunyi mesin pencatat jantung pun terdengar mendatar, mendatar, mendatar… God bye, Mona!
Anak kelas satu SMA itu lewat juga. Tenggelam ke dasar samudera lukanya yang tak berujung dan tak bertepi. Ke mana kira-kira dia akan melangkah sejak diangkut dari sini? Dan lelaki itu, ayah kandungnya sendiri telah… Dunia seperti apa di luar sana?
Sejak tragedi siang itu, acapkali aku pun tak punya keinginan untuk kembali. Sesungguhnya aku tak perlu kaget lagi, ya kan? Ah, tapi karena satu alasan, aku memang harus kembaliiii!
ooOoo
Siang beranjak petang. Dan petang pun menyentuh malam. Dari tempat seperti ini sesungguhnya aku tak bisa merasai lagi makna siang atau malam. Rasanya sama saja. Pagi, siang, petang dan malam tak ada bedanya. Intinya waktu berlalu dalam putaran sama dan sebangun; sebuah penantian, detik-detik bersentuhan dengan Sang Malaikat Maut.
Sayup-sayup terdengar gema takbir. Allahu Akbar Allahu Akbar wa lilah ilhamda… Apa kupingku tidak salah? Rasanya belum lama kulewati malam lebaran. Tentu saja bukan di tempat persinggahan seperti ini. Tapi di sebuah kawasan hiburan yang tak pernah mengenal makna suci, hari fitri dan segala yang berbau spiritual.
“Kita bawa hidup ini hepi-hepi aja, coy!” teriak si Josh yang asyik-masyuk bareng Maria, bergiliran nenggak minuman alkohol.
Sementara lainnya ada yang bergelimpangan. Ada pula yang terus-menerus jejingkrakan. Sesuai dengan musik hingar-bingar di sekitar kami.
“Ini, ini…, biar elo gak stres mulu!” Josep melemparkan lintingan ganja yang siap dihisap.
“Aku sudah nyoba, gak enak,” tepisku.
“Ini aja, rasanya, hmmm… kuuuul meeen!” Jean berbagi butiran ekstasinya denganku.
“Yeah…, sini! Daripada stres mulu, siniii!” sambutku putus asa.
Itulah pertama kalinya aku mengenal obat-obatan terlarang. Kubenamkan segala kecewa, marah, sedih dan amuk ke dalam lautan ajaib. Perasaan yang melayang-layang ringan, ringan, ringan… Hepi, whoooi!
Setelah berhari-hari tidak pulang, kafe tempat gengku hura-hura digrebek. Aku dilepas dengan jaminan pengacara ayahku, Sinambela SH, sesuai namanya memang doyan bela-bela.
“Aduuuh, Non Tina, kenapa jadi begini? Apa Non Tina nggak sayang badan sendiri?” Simbok inang pengasuhku sejak bayi menangisiku. Hanya tinggal perempuan paro baya ini yang masih peduli terhadapku. Lainnya sibuk dengan urusan masing-masing!
Dalam sekejap rumah menjadi heboh. Menyulut kembali pertengkaran Papi dengan Mami. Niel, abangku yang rocker itu, hanya sesaat melongok ke ruang keluarga. Kemudian dia menyambar kunci Jaguarnya, pasti mau gila-gilaan bareng gengnya. Denada, adikku yang bintang sinetron, tak kelihatan batang hidungnya. Kabar-kabarinya dia lagi syuting sinetron laris di Pulau Ayer.
“Ini semua gara-gara Papi! Sejak Papi doyan selingkuhan, rumah tangga ancur-ancuran!” tuding Mami histeris.
“Jangan salahkan orang! Lihat dirimu sendiri! Apa yang kamu kerjakan selama ini?” balas Papi.
Dan aku coba melanjutkannya dalam hati. Apa sih kerja Mami sejak jadi nyonya pejabat? Keluyuran, pamer mobil, pamer berlian, pamer semuanya!
“Selingkuhan Mami malah lebih banyak…”
Haaa? Segitu kacau-balaunya ortuku? Semakin heboh mereka bertengkar, kepalaku semakin mudeng. Simbok memapahku naik ke loteng, membersihkanku, mengganti baju kumal yang bau entah apa itu. Begitu telaten dan sayangnya Simbok kepadaku. Ah, sayang sekali, seminggu kemudian sosoknya tak kelihatan lagi di rumahku.
“Dia sudah tua. Gimana coba kalo mati di rumah ini? Jadi, terpaksa Mami harus memulangkan Simbok ke kampungnya!” dalih Mami sungguh tak masuk di akal sehatku.
“Bukan itu alasannya!” teriakku geram sekali. “Rahasia Mami dipegang semua sama Simbok. Mami pasti takut kaaan? Ya, takut Simbok kelepasan omong sama tetangga, terutama pers! Seharusnya bukan Simbok yang Mami pecat…”
“Diaaam!” sergah Mami.
“Sopir sialan itu! Asisten Papi itu! Para lelaki muda yang jadi pelampiasan Mami ituuuu…!”
Plaaakk!
Mami menamparku, keraaas sekali!
Amukku kian meradang. Berhari-hari, berminggu-minggu aku lenyap dari kamarku. Keluyuran ke kafe-kafe malam, menghamburkan isi credit card milik Papi yang sempat kucolong. Kadang aku ketawa kecut kalau mengingat isi kocek Papi. Dia nyolong dari kas negara, milik rakyat. Melalui tanganku, biar kubalikkan lagi kepada yang berhak. Hehe!
Begitulah hidupku hingga suatu hari mengubah keadaanku.
“He Tina, lihat nih!” Josh melemparkan koran ke arahku.
Aku membaca berita yang dilingkari spidol merah. Iklan pemberitahuan tentang pemutusan keluarga. Biasanya nonpri yang suka melakukan hal-hal begini. Tapi, ups!
Itu nama pengacara Papi, Sinambela, SH. Mereka menyatakan bahwa aku, si Tina Kristina binti Perwironegoro, SE, MBA, tak ada hubungan apapun dengan keluarga besar orang terhormat itu. Jelaaas!
“Kartu ajaib elo tuh gak laku lagi, Tina!” jengek Jean sinis.
“Sejak sekarang elo gak boleh tinggal di sini lagi,” usir Josh diikuti Maria, Josef, Jean dan lainnya.
Akibat kecanduan ngeboat, saraf-saraf otakku pasti sudah terganggu berat. Buktinya pikiranku tak pernah jejeg. Kadang melayang-layang, kadang menurun dan mencoba bangkit untuk bisa berpikir waras. Tapi nyatanya lebih sering lagi melayang-layang, terbang tinggi ke awang-awang…
Betapa kuingin mencapai nirwana!
“Aku butuh pil-pil nirwana itu!”
Saat-saat itulah aku sudah tak sanggup lagi mengendalikan pikiran dan perasaanku. Aku biarkan siapapun dan apapun itu menjamah, menyentuh dan menguasai tubuhku. Hanya satu yang kuinginkan, ngeboat, biar bisa terbang, terbang, terbaaang!
“Pergi jauh-jauh, enyaaah!” seorang demi seorang dan seorang lagi mengusirku, begitu dia sudah memuaskan hasrat bejatnya dengan memberi imbalan sekadar pembeli pil-pil setan itu.
Dan siang itu sampailah perjalananku di kawasan Kuningan. Terik matahari menyengat ubun-ubunku. Tersaruk-saruk kubawa langkah ini setapak demi setapak. Sepanjang malam itu aku telah melalui perjalanan paling jahim dalam hidupku. Ada segerombolan buas, anak-anak para pejabat tinggi negeri ini, menyergapku habis-habisan. Setelah puas mereka melempar tubuhku di kakilima begitu saja.
“Aku ingin mati saja!” jeritku saat itu.
Setapak demi setapak terus kulakoni, hingga suatu kali di depan kedubes Australia, tiba-tiba… buuum!
ooOoo
Gema takbir terus menggema malam ini, mengiringi langkah para koas memasuki ruang isolasi. Mereka kembali memeriksa keadaanku. Mencermati setiap gejala yang diperlihatkan alat-alat penunjang hidupku. Para koas muda yang penuh dedikasi, diseling diskusi serius ada juga obrolan ringan.
“Gimana kondisinya sekarang?”
“Hmm, paling sepuluh persen harapan hidupnya.”
“Hebat betul semangat hidup anak ini, ya…”
“Yeah, namanya juga anak seorang pahlawan, sang pembela rakyat…”
“Makanya, banyak orang jahat yang dendam!”
“Iya. Kalo gak dapat bokapnya, anaknya juga jadilah!”
“Hmm, kalau pun dia pergi kuyakin dia akan mendapat tempat di sisi-Nya…”
“Amiiin…”
Jangaaan! Aku tak ingin pergi sekarang!
Aku harus jelaskan dulu duduk perkaranya. Bahwa aku bukan anak pahlawan. Bahwa kejadian yang menimpaku sama sekali tak ada kaitannya dengan ayahku. Bahwa mereka, pers itu, sungguh telah salah kaprah. Bahwa semua berita perihal diriku, keluargaku yang telah dimuat secara besar-besaran di tabloid, koran, layar televisi itu… Semuanya hasil rekayasa!
Ya, aku harus hidup, haruuus!
“Kalian… aloow, sudah dengar berita baru tentang pasien kita ini?” koas Ridwan muncul dan bergabung dengan rombongan koas yang mengerubungi ranjangku.
“Paling mereka bilang akan menyiapkan bintang kehormatan…”
“Besok lebaran! Kalian kok pada gak inget waktu?” koas ganteng itu sempat bercanda.
“Kan kita lagi fokus di sini. Biar anak ini pulih dan bisa beri kesaksian…”
“Gak perlu lagi!” tukas koas Ridwan. “Ada saksi otentik yang bisa menjelaskan semuanya jadi terungkap…”
Hening sesaat. Aku berusaha keras menajamkan pendengaran.
“Ada seorang perempuan paro baya yang datang ke Polsek. Dia buka suara ungkap kebenaran tentang keluarga Perwironegoro…”
“Siapa? Gimana pengakuannya?”
“Barusan beritanya ditayang di televisi. Mbok Karsih, inang pengasuh pasien ini bilang…”
Dan kupingku mulai tertutup. Tapi aku masih melihat kesibukan kecil seketika menyeruak di sekitar ruang isolasi itu. Koas Ridwan dan kawan-kawan berusaha keras mempertahankan nyawaku.
Tidak, Sodara, perjuanganku kurasa sudah selesai. Detik-detik menyentuh tangan Maut itu telah tiba di penghujung mataku. Perlahan dia menyentuh kepalaku, ubun-ubunku. Sedetik memperlihatkan ke arah mana aku harus melangkah… kanankah, kirikah, aah![]
—
Pipiet Senja lahir di Sumedang 48 tahun yang lalu. Penulis yang cukup senior ini setidaknya sudah menulis sekitar 60 novel dan puluhan cerpen yang diterbitkan oleh banyak penerbit terkenal di negeri ini. Kini, istri dari H.E. Yasin Siregar dan ibu dari Haekal dan Adzimattinur Siregar ini aktif bersama Forum Lingkar Pena Depok.
[Source: Majalah SOBAT Muda, edisi 12/Tahun I/September 2005]