Assalaamu’alaikum wr wb

Pada 12 Februari 2011 ini, usia saya genap 37 tahun. Bagi kebanyakan orang, ulang tahun menjadi momen untuk bersyukur sekaligus merenung. Saya pribadi, sejak kecil tak pernah merayakan ulang tahun. Tak pernah ada tradisi semacam itu. Orang tua saya di kampung halaman, dalam kesederhanaannya, mereka tak pernah mengajarkan kepada anaknya untuk memperingati momen ulang tahun sebagai momen yang luar biasa. Tak ada pesta, tak ada acara meriah. Hanya taburan doa kecil. Agar amal shalih selama perjalanan hidup ini diterima Allah Swt. Selebihnya, diberikan kekuatan di sisa waktu usia agar kian giat beramal shalih.

Kita, terbiasa menggunakan ukuran waktu untuk mencapai target atau mengevaluasi diri. Bisa detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun, windu, abad, hingga milenium. Di arena balapan F1 atau MotoGP, betapa berharganya ukuran waktu dalam hitungan detik, atau sepersekian detik. Siapa yang pandai memanfaatkan posisi start dan bisa memacu serta mengendalikan kendaraan balapnya, dialah pemenangnya. Lebih cepat seperseratus detikpun sangat berpengaruh bagi kemenangan. Di arena pacuan balap macam F1 dan MotoGP, setiap pembalap hanya diberi kesempatan sekian putaran yang telah ditentukan. Selebihnya, masing-masing harus berusaha memacu tunggangannya secepat mungkin tanpa melakukan kesalahan saat menginjak rem, oper gigi, dan meliuk di tikungan tajam. Para pembalap juga ada batas waktunya dalam mengumpulkan poin demi poin untuk meraih tangga juara. Jika selalu gagal dalam setiap sirkuit arena balap, alamat makin tipis peluang mendulang poin untuk menjadi juara. Valentino Rossi pernah merasakan pahit getirnya arena balap MotoGP saat poinnya tak cukup mengejar Nicky Hayden, Casey Stoner, dan Jorge Lorenzo. Sehingga ketiga orang itu secara bergiliran pernah menggusur Rossi dari podium juara  MotoGP.

Lalu, bagaimana jika kita bicara di arena kehidupan dunia? Saya masih khawatir, apa yang saya perbuat di dunia, tak lebih dari sekadar mencintai dunia. Padahal, dunia ladang amal untuk dikumpulkan sebagai bekal di kehidupan akhirat. Jatah usia setiap manusia setiap detiknya jelas berkurang. Kita,kadang melupakan ‘hal kecil’ dalam ukuran waktu bernama detik, sehingga nyaris diabaikan. Sebaliknya, ukuran tahun, sering menjadi ukuran yang sangat diperhatikan. Mudah sekali mengingatnya. Gampang nian untuk dijadikan sebagai tonggak evaluasi. Padahal, beberapa detik yang lalu, yang kita gunakan untuk bersantai, sejatinya kita telah mengabaikan peluang untuk melakukan kebaikan. Apalagi jika berlalunya waktu yang bebebapa detik itu malah digunakan untuk maksiat. Celaka sekali. Naudzubillah min dzalik.

Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr [103]: 1-3)

Imam ar-Razi dalam tafsirnya mengenai keterkaitan antara waktu dan kerugian menyatakan: “Ketika rugi dipahami sebagai hilangnya modal, sementara modal manusia adalah umur yang dimilikinya, maka manusia senantiasa mengalami kerugian. Sebab, setiap saat dari waktu ke waktu umur yang menjadi modalnya terus berkurang.”

Menyimak pendapat Imam ar-Razi, rasanya pantas kita merenung sangat dalam. Kita bisa membayangkan, bagaimana jadinya diri kita, jika umur yang kita miliki dengan jatah yang makin berkurang setiap detiknya,  digunakan untuk mengerjakan yang maksiat kepada Allah Swt.? Bukan tak mungkin kita bisa bangkrut. Semoga kita terhindar dari hal yang demikian.

Mengais amal shalih di sisa waktu usia rasanya amat berat. Selain harus berjibaku memanfaatkan peluang yang makin tipis karena dibatasi waktu yang kian berkurang, juga pantas merasa khawatir dengan godaan dunia yang sungguh memikat. Sehingga membuat kita terlena dan akhirnya malah melupakan amal shalih yang semestinya diraih.

Saya jadi teringat sebuah nasyid. Syairnya cukup bagus. Semoga bisa mengingatkan agar kita tidak mudah tertipu dengan gemerlap dunia dan segala perhiasannya yang membuat kita lalai dan bahkan meninggalkan kewajiban mengumpulkan amal shalih. Begini sebagian lirik dari nasyid berjudul Fatamorgana yang dipopulerkan oleh Hijaz yang berkolaborasi dengan In Team: “…Deras arus dunia, menghanyutkan yang terlena/indah fatamorgana melalaikan menipu daya/dikejar dicintai bak bayangan tak bertepi/ tiada sudahnya dunia yang dicari/Begitu indah dunia siapa pun kan tergoda/harta pangkat dan wanita melemahkan jiwa/Tanpa iman dalam hati kita kan dikuasai/syaitan nafsu dalam diri musuh yang tersembunyi/Pulanglah kepada Tuhan cahaya kehidupan/Keimanan, ketakwaan kepadaNya senjata utama…”

Semoga di sisa usia saya ini, saya masih semangat untuk terus beramal shalih. Belajar dan berdakwah. Hidup di dunia bukanlah tempat untuk beristirahat dengan tenang. Tetapi tempatnya bekerja keras mengumpulkan pahala. Apalagi jika kita mampu menerjunkan diri dalam dakwah dan perjuangan demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Seperti pesan Shoutul Harokah dalam bait syairnya: “Mengarungi samudera kehidupan, kita ibarat para pengembara. Hidup ini adalah perjuangan, tiada masa tuk berpangku tangan. Setiap tetes peluh dan darah tak akan sirna ditelan masa. Segores luka di jalan Allah, kan menjadi saksi pengorbanan…”.

Tulisan ini, ditujukan utamanya untuk saya pribadi, semoga menjadi bahan interospeksi. Dan, bagi kawan-kawan yang membacanya semoga bisa menjadi inspirasi dan mengambil hikmahnya. Usia kita hanya ukuran untuk menunjukkan dari muda menjadi tua. Amat rugi tentunya, ketika tambah usia, tetapi yang bertambah adalah dosanya. Kita semua berharap bahwa semakin tua usia kita, semakin banyak amal shalih yang dikoleksi karena jatahnya untuk beramal kian berkurang.

Untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, ada baiknya kita semua merenungkan sabda Rasulullah saw. (yang artinya): “Belum hilang jejak telapak kaki orang-orang yang mengantarnya ke kubur, seorang hamba (yang telah habis usianya) akan ditanya mengenai empat hal, yaitu hal usianya ke mana dihabiskannya, hal tubuhnya untuk apa digunakannya, hal ilmunya seberapa yang diamalkannya, serta hal hartanya dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya.” (HR Tirmidzi)

Hanya kepada Allah Swt. kita berharap memohon segala ampunan dan barokahNya. Mengampuni dosa yang telah kita lakukan, menerima amal shalih yang sudah kita semai, dan memberi kesempatan mengais amal shalih di sisa waktu usia kita. Amiin.

Salam,
O. Solihin | Instagram @osolihin

Foto diambil dari sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *