Oleh: Nafisah FB

[Penulis buku, Mentor KMO kelas penulisan Skenario, http://nafiisahfb.co.cc/]

Ranting_by_Aranir-resizeAngin malam yang berhembus semilir membuat mata Syarif sebentar menutup. Sedetik kemudian matanya membuka lalu menutup lagi. Dia terkantuk lalu terlelap  sekejap. Pensilnya menyusul terhempas dari tangannya.

Seorang wanita berusia sekitar 30-an menghampiri pintu kamar Syarif yang terbuka. Lastri, wanita itu, menatap Syarif yang telah terlelap itu dengan senyum.

“Syarif sudah tid ….” Suara seorang pria hendak bertanya.

“Sssst.”

Lastri menempelkan telunjuk tangan kanannya ke bibirnya. Seorang pria yang baru saja tiba tadi berhenti bersuara.

“Dia sudah tidur.” Lastri memberitahu.

Pria itu menoleh ke arah Syarif. Anak berusia enam tahun itu menangkupkan kepalanya di atas meja belajarnya. Bukan meja belajar yang sesungguhnya, hanya beberapa balok kayu dan papan yang disusun dan dipaku seadanya.

“Kang Firman pindahin Syarif ke atas tempat tidur. Biar aku yang tutup jendelanya.”

Lastri menuju jendela kayu, sedangkan Firman, pria yang dia sebut ‘Kang’ itu itu beranjak dari ambang pintu menuju tubuh mungil Syarif. Dia mengangkat Syarif ke atas pembaringan.

Syarif telah berada di atas tempat tidur. Nyaman … tanpa beban. Firman dan Lastri memandangi wajahnya sebentar.

“Si Tole sepertinya cape’ banget ya, Kang. Kasihan.” Lastri mengelus pipi tembem Syarif.

“Kalau gitu besok dia enggak usah dulu bantu cari kayu bakar,” ucap Firman menenangkan.

Dia tersenyum kepada Lastri. Begitupun Lastri kepada Firman. Mereka beranjak dari sana setelah dipastikan Syarif nyaman dalam tidurnya.

oooOooo

“Nanti pulang sekolah kita main ya, Rif?”

Syarif menoleh ke bocah kurus di sampingnya. Dia menggelengkan kepala.

“Aku ndak bisa, Tung”

“Loh, kenapa?” tanya Untung, bocah kurus itu.

“Aku harus bantu Bapak. Aku arep nggolek kayu ning alas.”

“Kalau gitu aku bantu!”

Syarif mengangguk, tersenyum. “Boleh!”

“Yes!” seru Untung dengan lagak wong londo. Tangannya yang mengepal dihentakkan.

Untung nyengir lebar memperlihatkan ruang di deretan giginya bagian depan  yang kosong. Giginya kemarin tanggal dua. Syarif hanya tertawa melihat lagaknya.

Dua bocah SD kelas satu itu terus berjalan beriringan di sepanjang pematang sawah. Pagi itu mereka menuju sekolah yang jaraknya tiga kilometer dari rumah mereka. Hanya 3 kilometer, itu yang selalu Syarif katakan kalau ada temannya yang orang kota menyampaikan belas kasihan.

oooOooo

Syarif melangkah tergesa menuju kamarnya. Tasnya diletakkan segera di atas meja. Lastri melangkah, menyusul menuju kamarnya.

“Mak! Syarif cari kayu bakar dulu!”

Syarif berteriak dari dalam kamar. Dia sedang mengganti kemeja seragam sekolahnya dengan kaos lusuh, seragam dinasnya.

“Kamu ndak usah cari kayu bakar hari ini, Le,”ucap Lastri setibanya dia di pintu kamar Syarif.

Syarif menolehkan kepala kepada emaknya. Keningnya mengerut.

“Memang kenapa, Mak?” tanya Syarif sambil menghampiri Lastri.

“Bapakmu bilang hari ini kamu cuti,” jawab Lastri tersenyum sambil menggandeng tangan Syarif menuju meja makan.

“Cuti? Cuti iku opo, sih, Mak? Ooh, kaya’ Lek Gino waktu itu datang ke sini ya, Mak? Dia bilang liburan karena dapat cuti. Berarti cuti itu libur. Iya, Mak?” cerocos Syarif sambil terus mengikuti langkah Lastri menuju  meja makan.

“Iya,” jawab Lastri singkat.

“Lho, kalau gitu siapa yang nyari kayu bakarnya?” tanya Syarif sambil duduk menghadap meja makan.

Lastri memberikan piring kepada Syarif. Syarif segera menyenduk nasi dari tempatnya. Setelah itu dua potong tempe dan kuah sayur sop diambilnya untuk menemani nasi.

“Bapakmu yang cari. Habis dari sawah, langsung cari kayu bakar,” ucap Lastri sambil menyiapkan rantang untuk makan siang bapaknya Syarif.

Syarif berhenti memindahkan nasi ke mulutnya. Lastri menoleh. Dia melihat wajah murung putranya.

“Ene opo, Le? Kok, berhenti makan?”

“Kasihan Bapak, Mak,” lirih suara Syarif.

Lastri tersenyum. Tangan meraih kepala Syarif dan mengusap lembut rambut ikalnya. Rambut ikal milik Firman.

“Bapakmu laki-laki. Dia kuat.”

“Syarif juga laki-laki, Mak! Syarif kuat!” pekik Syarif cempreng sambil bangkit dari duduknya. Matanya tajam menatap Lastri.

Lastri terkejut. Syarif tidakmenunggu emaknya kembali berbicara. Dia segera meraih rantang dan berlari keluar rumah.

“Eh, Le! Tole Syarif! Syarif” panggil Lastri lantang.

“Syarif ke sawah, Mak!” jawab Syarif di kejauhan, tidak kalah lantang.

Lastri hanya menghela nafas panjang. Ada syukur yang dia panjatkan untuk putranya yang berbakti. Namun, rasa nelangsa yang mendalam tidak bisa dia abaikan.

“Ya, Allah. Sampai kapan anakku ikut berjuang seperti ini? Belum saatnya buat dia, ya Allah. Belum saatnya. Dia masih terlalu kecil.”

Cairan bening itu sedetik kemudian meluncur dari dua mata Lastri. Dia menyekanya walaupun dia tahu itu tidak akan membuatnya sirna. [bersambung…]

1 thought on “Ranting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *