Oleh: Nafisah FB
[Penulis buku, Mentor KMO kelas penulisan Skenario, http://nafiisahfb.co.cc/]
“Wah, gimana ini, Pakde?! Masa’ yang sudah jelas nebang pohon enggak pake’ ijin bisa bebas?!”
Ngatno menunjuk-nunjukkan telunjuk kanannya ke atas lembaran koran. Tangannya yang lain sedang memegang rantang plastik tempat makan siangnya.
“Bisa habis hutan kita! Nanti, yang disalahkan penduduk desa kaya’ kita. Gitu?!” Ngatno melanjutkan sambil tangannya menyuap nasi ke mulutnya.
Pakde Danu yang sedang menghirup kopi menengok ke Ngatno. Firman baru saja akan membuka rantang yang baru diantar Syarif.
Pakde Danu mengambil surat kabar dari hadapan Ngatno. Dia membaca, “Mr. Adek Lin Ter Alis divonis bebas dari dakwaan illegal logging setelah hakim menilai semua berkas dan penjelasan para saksi tidak cukup menjadi bukti dakwaan.”
Setelah itu tidak ada suara. Pakde Danu terpekur. Dia terus menelusuri kata demi kata di surat kabar itu. Firman menoleh ke Pakde Danu. Air muka Pakde Danu perlahan berubah. Urat wajahnya menegang.
“Sampah!”
Pakde Danu tiba-tiba berteriak marah. Dia membanting koran ke atas bale dangau lalu beranjak meninggalkan dangau. Ngatno dan Firman hanya saling pandang.
“Pakde kenapa, Man? Kok marah kaya’ gitu?” tanya Ngatno kaget.
“Ndak tahu, Mas,” jawab Firman.
Firman sebenarnya bukan sama sekali tidak bisa meraba alasan kemarahan Pakde Danu. Dia ragu apakah memang itu yang menjadi alasannya.
Tiga tahun yang lalu Pakde Danu ditahan selama sebulan karena tertangkap “Satpam” hutan menebang sebuah batang pohon. Bukan yang besar. Hanya yang berukuran sedang. Bukan kayu yang mahal. Hanya batang kayu tanpa daun milik pohon yang kulitnya melayu. Pakde Danu ingin menjual potongannya untuk mengganjal perut cucu dan istrinya.
“Aku memang salah, Man. Aku mencuri milik negara. Aku rela ditahan.” Begitu Pakde Danu bilang waktu Firman dan Lastri menemani Bude Tarsih menjenguk Pakde Danu di penjara saat itu.
Firman menghela nafas panjang. Ingatan itu tidak akan bisa hilang.
“Apa mungkin ya itu yang bikin Pakde tadi marah?” batin Firman.
Firman tidak melanjutkan percakapan batinnya karena Ngatno memperhatikannya. Firman segera menuntaskan makan siang.
oooOooo
“Eh, Rif! Itu ada batang kayu di situ! Kita ambil saja. Yuk!”
“Eh, Tung. Jangan!”
Syarif tergopoh mengejar Untung yang berlari menuju sebuah pohon. Kumpulan ranting yang diikat apa adanya yang dibawanya sedikit membuat jarak larinya terbatas.
“Tung! Ojo! Diseneni Pak Mandor mengko!”
“Halah! Wis to! Tenang aja. Cuma batang sebesar ini!” Untung memperlihatkan lengan tangannya yang kurus.
“Iya! Tapi, itu masih nempel di pohon. Dilarang!” cegah Syarif sekali lagi.
Untung mendengus kesal. Dia mendorong bahu Syarif dengan bahunya. Syarif selangkah terhuyung ke belakang. Syarif segera memeluk ikatan ranting miliknya.
Untung mengeluarkan kapak kecil dari tempatnya, sebuah kain yang dibelitkan. Dia memanjat pohon dengan gesit. Tidak sampai hitungan menit, tangannya telah menyentuh batang pohon incarannya. Dia segera mengayunkan kapak kecilnya, perlahan menebas kulit batang lalu ke kambium.
Syarif menoleh kiri-kanan, was-was kalau Pak Mandor datang. Dia memperhatikan Untung yang masih semangat.
“Lekas, Tung!” teriak Syarif. Kecemasan benar-benar nyata di wajahnya.
“Sedilut meneh! Sabar po’ o!” respon Untung dari atas pohon.
“HEI!” Gelegar sebuah suara.
Syarif terkesiap. Untung menghentikan aksinya mendadak. Mereka perlahan melihat ke arah yang sama. Pak Mandor ternyata telah berdiri bertolak pinggang dengan telunjuk kirinya menuju mereka. [bersambung…]