Oleh: Nafisah FB

[Penulis buku, Mentor KMO kelas penulisan Skenario, http://nafiisahfb.co.cc/]

Ranting_by_Aranir-resizeSyarif gemetar. Ikatan ranting ditangannya ikut bersuara. Untung menjatuhkan kapak kecilnya ke tanah dan segera meluncurkan tubuhnya dari atas pohon ke bumi.

“Lari!” teriak Untung. Tangannya meraih tangan Syarif.

Ikatan ranting terlepas seiring ranting yang terhempas. Syarif tidak sengaja melakukan. Refleks. Tangannya yang satu tidak kuat memeluk ranting saat tangannya yang lain ditarik Untung. Kaki-kakinya berlari mengikuti jejak lari Untung.

“Tung! Kayu bakarku!” teriak Syarif panik.

Syarif menoleh ke arah ranting … ke arah Pak Mandor yang masih mengejar mereka.

“Hei! Pencuri kecil! Jangan lari kalian!” teriak Pak Mandor semakin garang.

Untung terus berlari. Syarif pun ikut mempercepat lajunya.

Duk! Kaki Untung terantuk batang pohon sisa penebangan yang rebah melintang. Tubuhnya terjerembab di atas tanah yang basah. Lututnya berdarah. Dia hanya meringis sebentar. Syarif menarik tangannya, memaksanya berdiri lagi. Mereka berlari lagi.

Mereka lari. Pak Mandor masih mengikuti.

Lari. Lari. Lari.

Mereka berusaha semakin cepat. Kaki-kaki mungil Syarif menerobos semak berduri. Cras!

Darah. Perih? Syarif tidak rasakan. Syarif tidak peduli. Dia hanya ingin dirinya dan Untung bisa terus berlari.

oooOooo

“Lastri! Lastri!”

Lastri tergopoh-gopoh menghampiri suara Pakde Danu. Darahnya seketika dirasakannya berhenti. Tubuhnya dingin.

Di dalam gendongan Firman dilihatnya tubuh lemah Syarif. Kaos lusuh bocah itu basah oleh keringat. Wajahnya kumal oleh bersitan tanah. Kedua kakinya penuh dengan goresan darah.

“Ya, Allah, Le! Mas, kenapa Tole bisa begini?!” pekik Lastri tidak mampu lagi menahan diri. Bude Tarsih memegangi bahunya.

Firman tidak bersuara. Dia segera menuju dalam rumah, membawa Syarif ke kamarnya.

Kerumunan tetangga yang hendak masuk dicegah oleh Ngatno dan Pakde Danu.

“Sederek-sederek, saya mohon pengertiannya! Jangan masuk dulu! Biar Pak Mantri yang tangani!” teriak Ngatno.

Mereka gaduh.

“Hei, mana tadi Pak Mantri?!” Suara Pakde Danu terdengar di halaman depan.

Pak Mantri muncul. Dia dibantu Pakde Danu menyeruak kerumunan. Mereka lalu berjalan cepat ke dalam.

oooOooo

Syarif telah diobati. Dia tertidur.

Pak Mantri segera pergi menuju rumah Untung yang hanya beberapa rumah jaraknya. Dia ingin mengecek kondisi Untung. Zainal, anaknya yang mahasiswa kedokteran sedang berada di sana memberikan pertolongan pertama.

Lastri perlahan duduk di sisi tempat tidur. Tangisnya belum reda.

“Le … iki Emak, Le ….” Hanya itu yang bisa dilirihkannya disela tangisnya.

Firman menghampiri Lastri. Dia berdiri di sisi Lastri, menggenggam bahu istrinya … menguatkannya.

Matanya nanar memandangi tubuh lemah Syarif.  Airmata dirasakan panas menghentak kelopak matanya.

Masih jelas di ingatannya obrolan antara Pakde Danu dan Ngatno siang tadi. Masih diingatnya telunjuk Ngatno yang berulang menunjuk isi headline surat kabar itu. Masih terngiang di telinganya suara Pakde Danu yang membaca isi headline surat kabar itu.

“Mr. Adek Lin Ter Alis divonis bebas dari dakwaan illegal logging setelah hakim menilai semua berkas dan penjelasan para saksi tidak cukup menjadi bukti dakwaan.”

“Sampah!”  Jerit batin Firman sekuat tenaga.

Mulutnya tetap terkatup. Airmata saja yang akhirnya menyuratkan kepedihan rasanya. Airmata yang dia yakin bukan hanya milik Lastri dan dirinya. Kepedihan yang dia yakin bukan hanya dirasakan Lastri dan dirinya. Pun mereka yang telah mengumpulkan ranting demi perut mereka. Pun mereka yang mengais rejeki halal demi keberkahan dalam kemiskinan mereka.

Di seberang renungan Firman, Syarif masih tertidur. Nyaman … tanpa beban. [TAMAT]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *